PASAR MODAL UNDERCOVER

Oleh:
Abdul Wahid Al-Faizin
(Progres STEI Tazkia, Koordinator Komisariat Bogor, FoSSEI Jabodetabek)
Bencana Pasar Modal
Di akhir tahun 2008 silam, dunia dihebohkan dengan adanya sebuah krisis maha dahsyat yang menghantam perekonomian hampir seluruh Negara di dunia yaitu krisis keuangan global. Krisis yang bermula dari kasus Subprime Mortgage di Amerika ini, mampu merontokkan nilai saham-saham yang listing di bursa saham dunia dalam sekejap. Akibat krisis tersebut perekonomian negara-negara di dunia mengalami resesi atau bahkan kontraksi. PHK pun tidak terelakkan lagi terjadi di mana-mana. Akibatnya, kemiskinan dan pengangguran meraja rela serta menjadi masalah di berbagai negara di dunia. Berbagai upaya pun dilakukan oleh berbagai negara yang terkena dampak krisis keuangan global tersebut. Bahkan Amerika Serikat yang selama ini menganut idiologi kapitalis yang anti intervensi pun pada akhirnya mengambil tindakan dalam menangani dampak krisis tersebut. Tidak tanggung-tanggung, negara asal film-film Hollywood ini mengeluarkan dana sebesar US$ 700 miliyar untuk menyelamatkan perekonomiannya. Krisis yang bermula dari kegagalan pasar modal ini juga berperan penting dalam peningkatan kasus bunuh diri di dunia. WHO sebagai mana yang dikutip oleh “Pikiran Rakyat” memperingatkan bahwa Krisis keuangan global tampaknya akan meningkatkan gangguan kesehatan mental yang akan memicu kasus bunuh diri. Salah satu kasus bunuh diri yang paling menghebohkan adalah kasus bunuh diri seorang Milyader Jerman Adolf Merckle pada tanggal 5 Januari 2009 silam. Orang terkaya ke-5 di Jerman yang juga berada di urutan ke-94 orang terkaya di dunia menurut majalah Forbes ini bunuh diri dengan cara menabrakkan diri ke arah kereta yang melaju kencang.
Tidak hanya itu, berbagai perusahaan raksasa multinasional pun tidak berdaya menghadapi cengkraman krisis keuangan global di atas. Bahkan perusahaan besar sekaliber Lehman Brothers dan General Motor pun terkapar lemas akibat krisis tersebut. Keduanya terancam gulung tikar andai saja pada saat itu pemerintah Amerika tetap pada prinsip kolotnya yang tidak mau melakukan intervensi. Menurut laporan ADB -sebagai mana yang dikutip di Jurnal ekonomi Idiologi edisi 10 Maret 2009- kerugian dunia akibat krisis keuangan global pada tahun 2008 silam mencapai US$ 50 trilyun atau setara Rp 600 ribu trilyun (dengan kurs Rp 12.000/dollar AS pada saat itu). Angka tersebut tergolong spektakuler karena mencapai 121 kali lipat PDB Indonesia 2008 yang hanya  sebesar Rp4.954,0 triliun. Berbagai kasus di atas merupakan sebagian kecil dari keliaran pasar modal yang selama ini diagung-agungkan oleh banyak negara. Krisis tersebut merupakan bukti bahwa pasar modal selama ini telah mengalami banyak pelencengan dari fitrahnya. Tulisan ini mencoba menelusuri berbagai macam penyimpangan yang selama ini terjadi di pasar modal.
Penyimpangan dari Fitrah Pasar Modal
Kalau kita lihat sejarah krisis yang ada di dunia, hampir seluruhnya bermula dari sektor pasar modal. Hal ini dapat kita lihat dari ambruknya bursa saham Wall Street di tahun 1929 yang disusul oleh resesi ekonomi yang berkepanjangan di tahun 1930-an, 1940, 1970, 1980, Black Monday 1987, krisis moneter tahun 1997 di regional Asia. Seperti tidak pernah berhenti krisis yang diakibatkan oleh pasar modal tersebut terjadi kembali pada akhir tahun 2008 (Firmansyah: 2009). Krisis global yang bermula dari Amerika tersebut seperti kado akhir tahun yang amat pahit bagi perekonomian dunia. Namun anehnya dunia seakan tidak pernah disadarkan oleh kebobrokan sistem ekonomi kapitalis yang bertumpu pada sektor pasar modal. Boro-boro memperbaiki kerapuhan sistem pasar modal yang brobok ini, sebaliknya mereka menganggap krisis tersebut sebagagai hal biasa yang merupakan keniscayaan dari sebuah siklus perekonomian. Kalau kita telusuri lebih lanjut, kita akan tahu bahwa kehancuran pasar modal yang selama ini terjadi berulang-ulang tidak terlepas dari adanya beberapa penyimpangan terhadap tujuan dan fungsi utama pasar modal yang menjadi fitrahnya. Tujuan utama dari pasar modal yang dimaksud adalah:
Pertama, sebagai institusi yang digunakan oleh perusahaan untuk mendapatkan dana murah untuk menjalankan kegiatan usahanya. Dari sinilah seharusnya fungsi intermediasi dari pasar modal menjadi sangat urgent. Namun pada kenyataannya pasar modal berubah menjadi lahan bagi para spekulan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Akibatnya pasar modal seolah menjadi hutan rimba yang memungkinkan masing-masing spekulan yang bermain di dalamnya untuk saling mencengkram satu sama yang lain. Tidak jarang kita mendengar seorang investor yang sangat bahagia karena memperoleh keuntungan bermilyar-milyar dalam hitungan menit saja, sementara seorang investor lainnya harus kecewa atau bahkan bunuh diri akibat kerugian besar yang dialaminya. Di sinilah hukum rimba seakan berlaku.
Kedua, sebagai sarana investasi masyarakat. Dalam hal ini, keberadaan pasar modal memberikan pilihan bagi masyarakat untuk berinvestasi. Dengan adanya pasar modal, masyarakat tidak hanya bisa menginvestasikan hartanya dalam bentuk properti, emas atau deposito di Bank, namun juga bisa menginvestasikan kekayaannya dalam bentuk saham dan obligasi.
Sebagai sebuah investasi yang ideal, investasi di pasar modal seharusnya merupakan investasi jangka panjang, yaitu dengan cara menginvestasikan dana di perusahaan yang listing di pasar modal. Dengan demikian, masyarakat bisa berpartisipasi untuk memiliki perusahaan yang sehat dan berprospek cerah.
Namun, bagai panggang yang jauh dari apinya, kebanyakan investor yang bermain di pasar modal bukanlah investor yang memilik tujuan investasi jangka panjang. mayoritas dari mereka hanya mencari keuntungan dari capital gain saja bukan dari deviden. Akibatnya tidak jarang mereka menyebarkan beberapa isu yang meresahkan dengan tujuan meningkatkan harga saham yang mereka miliki. Dengan demikian mereka akan mendapatkan capital gain yang besar dari kenaikan harga saham yang semu tersebut.
Ketiga, sebagai leading indicator bagi trend ekonomi sebuah negara. Sebagai leading indicator, pasar modal seharusnya merepresentasikan kondisi riil dari perekonomian yang ada di sebuah negara. Perkembangan pasar modal pun seharusnya sejalan dengan perkembanga sektor riil. Akan tetapi pada kenyataannya perkembangan pasar modal selama ini jauh meninggalkan sektor riil yang merupakan tulang punggung perekonomian. Hal ini dapat kita lihat dari omzet pasar finansial pada tahun 2006 – termasuk di dalamnya pasar modal- yang mencapai 2 trilyun US$ perhari. Sedangakan omzet dari pasar barang dan jasa hanya sebesar 7 trilyun US$ pertahun. Hal inilah yang oleh Drucke sebagai mana yang dikutip oleh Prof. Didin S. Damanhuri disebut proses Decoupling yang pada gilirannya menimbulkan Bubble Economy bagi perekonomian sebuah negara. Bubble Economy ini pada akhirnya nanti akan meletus dan memberikan bencana perekonomian maha dahsyat bagi dunia sebagai mana krisis-krisis yang selama ini terjadi.
Selain itu sebagai leading indicator, harga saham-saham yang listing di pasar modal pun seharusnya menjadi representatif dari kinerja perusahaan. Tinggi rendahnya sebuah saham seharusnya sangat tergantung dari baik atau jeleknya kinerja persuahaan yang menerbitkannya. Namun ironisnya, kenaikan harga sebuah saham acap kali berupa kenaikan yang semu belaka. Tidak jarang kenaikan nilai dari saham hanya diakibatkan oleh aksi goreng saham dari para pemain saham saja, tidak oleh kinerja baik dari perusahaan yang menerbitkannya. Kenaikan harga saham yang berlipat ganda dari harga yang seharusnya inilah yang pada akhirnya akan memperparah kondisi Bubble Economy bagi perekonomian sebuah negara. Hal ini dapat kita lihat dari kasus Subprime Mortgage yang merupakan pemicu terjadinya krisis keugangan global pada akhir tahun 2008 kemarin. Di mana harga sekuritas yang diterbitkan atas perumahan yang menjadi jaminannya jauh berkali lipat dari harga pasar dari perumahan tersebut.
Yahudi di Balik Pasar Modal
Nama Yahudi mungkin tidak asing lagi di telinga kita. Nama Yahudi akan selalu terlintas di benak kita ketika kita mendengarkan nama Palestina korban kebiadaban Israel yang merupakan negara bangsa Yahudi. Selain memiliki bakat menjajah, Yahudi juga memiliki kelihaian dalam menguasai dan mebangun sebuah kerajaan bisnis. Dengan jaringan yang mereka miliki, mereka berusaha menguasai seluruh aspek kehidupan dunia, mulai dari politik sampai ekonomi. Menurut Anton A. Ramdan, ambisi Yahudi untuk menguasai dunia ini didorong oleh pandangan mereka bahwa ras mereka adalah ras yang paling tinggi di dunia sehingga harus menguasai dunia. Pandangan tersebut berdasarkan ajaran yang ada pada kedua kitab yang menjadi pegangan mereka yaitu Taurat dan Talmud. Di antara ayat-ayat yang menjelaskan hal tersebut adalah “di mana saja mereka (orang Yahudi) datang, mereka akan menjadi pangeran raja-raja”(Sanhedrin 104a). Ayat lainnya adalah “air mani yang darinya tercipta bangsa-bangsa lain yang berada di luar agama Yahudi adalah air mani kuda” (Yerussalem, 94).
Dalam misinya untuk menguasai dunia, Yahudi melakukan berbagai strategi dan cara, di antaranya adalah dengan melobi institusi-institusi berpengaruh di dunia seperti IMF dan PBB. Bahkan tidak jarang mereka melakukan cara yang tidak halal untuk mencapai tujuan mereka menguasai dunia tersebut. Ironisnya, pencapaian tujuan dengan memakai cara yang tidak halal tersebut mendapatkan legitimasi dari kitab pegangan mereka. Legitimasi tersebut dapat kita lihat misalnya di dalam Babha Kama 113a yang berbunyi “setiap orang Yahudi boleh menggunakan kebohongan dan sumpah palsu untuk membawa seorang non-Yahudi kepada kejatuhan”. Ayat yang lainnya adalah “kepemilikan orang non-Yahudi seperti padang pasir yang tidak bertuan. Semua orang Yahudi yang merampasnay berarti dia telah memilikinya” (Talmud IV/1/113b)
Berdasarkan ajaran di atas, tidak heran kiranya kalau kita lihat beberapa pebisnis besar Yahudi sering melakukan ulah yang mengakibatkan kehancuran dunia. Kita mungkin masih ingat bagai mana ulah yang dilakukan oleh Goerge Soros dalam menghancurkan perekonomian Inggris. Dia menjual uang poundsterling dalam jumlah besar senilai $10 miliar dalam waktu yang sangat singkat. Peristiwa ini dikenal dengan Black Wednesday karena terjadi pada hari Rabu 16 September 1992. Tindakan Goerge Soros tersbut mengakibatkan Bank of England bangkrut. Sedangkan dia mendapatkan keuntungan sebesar US$1,1 miliyar dalam waktu singkat. Tidak hanya di Inggris, Goerge Soros juga menjadi otak di balik krisis yang melanda Asia pada tahun 1997. Di Indonesia sendiri, Krisis ini merambat menjadi krisis multidimensi yang berakhir dengan adanya reformasi.
Di antara strategi Yahudi dalam menguasai perekonomian dunia adalah dengan cara menguasai pasar modal dan pasar uang. Strategi ini dapat kita ketahui dengan jelas dari protokol 9 dari 24 Protocols of Zion. Dalam protokol 9 dijelaskan “pemerintah non-Yahudi harus digiring agar mau berhutang kepada kita. Agar  beban mereka terus meningkat, kita harus memperbanyak pasar modal dan pasar uang dan harus pandai memainkannya. Bila sudah menguasai sektor keuangan, kita akan menghentikan pasar modal dalam posisi ekonomi tetap stabil dan kita berusaha jangan sampai rugi”. Ulah Goerge Soros di atas merupakan salah satu bukti bagai mana Yahudi menguasai sektor keuangan dan mampu mempermainkannya.
Islam dan Penyimpangan Pasar Modal
Kalau kita teliti secara menyeluruh, seluruh transaksi dalam Islam selalu mengarah kepada sektor riil. Dalam Islam, setiap transaksi harus memiliki Ma’qud alaih (objek transaksi) yang nyata dan diketahui dengan jelas. Setiap transaksi yang tidak memilik objek yang jelas dilarang oleh Islam. Oleh karena itulah, dapat kita simpulkan bahwa segala jenis akad yang ada dalam Islam seperti Mudlarabah, Murabahah dan Ijarah akan selalu berujung pada penciptaan barang dan jasa.
Menurut Ali Sakti Islam tidak mengenal adanya sektor moneter. Menurut dia kebijakan dan sektor moneter dalam Islam hanya diperlukan bila digunakan untuk menopang sektor riil. Perkembangan sektor moneter dalam Islam harus mengikuti perkembangan sektor riil, bukan sebaliknya sebagai mana yang terjadi dengan sektor moneter sekarang. Di mana sektor moneter jauh meninggalkan sektor riil yang ada. Dengan demikian, dalam Islam tidak pernah dikenal adanya istilah Decoupling antara sektor riil dan moneter sebagai mana yang ada di sistem ekonomi konvensioanl.
Berdasarkan hal di atas, dalam pandangan Islam, pasar modal yang merupakan bagian dari sektor financial seharusnya memberikan peranan penting bagi perkembangan perekonomian riil bagi sebuah negara. Pasar modal sejatinya menjadi instrument yang paling efisien bagi perusahaan guna mendapatkan dana murah untuk melakukan ekspansi usahanya yang pada akhirnya akan meningkatkan output riil bagi negara. Inilah fitrah pasar modal yang sebenarnya.
Kehancuran ekonomi yang selama ini terjadi tidak lain diakibatkan oleh adanya penyimpangan pasar modal dari fitrah aslinya sebagai pendukung sektor riil. Ekonomi ribawi yang selama ini diterapkan oleh perekonomian konvensional telah menjadikan pasar modal menjadi liar dan memakan banyak korban. Keliaran pasar modal tersebut diperparah lagi oleh ulah para spekulan yang hanya mencari keuntungan dengan cara memancing di air keruh. Mereka hanya mencari keuntungan yang sebesarnya saja  tanpa memperhatiakan dampak tindakan mereka yang merusak perekonomian.
Dalam pandangan Islam, Bunga dan spekulasi inilah yang selama ini menggerogoti perekeonomian. Selagi keduanya masih meliputi perekonomian, proses Decoupling akan selamanya terjadi dalam sebuah perekonomian. Oleh karena itulah Islam sangat mengecam keduanya. Larangan tentang riba sangat jelas dikemukakan dalam al-qur’an pada surat Al-Baqarah ayat 278. Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman (QS. Al Baqarah: 278). Sedangkan transaksi spekulatif digambarkan oleh al-qur’an sebagai sesuatu yang kotor dan menjijikkan. Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minum khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan (QS. Al maidah: 90).
Krisis keuanga global yang bermula dari kehancuran pasar modal baru-baru ini seharusnya menjadi momentum penting bagi bangkitnya ekonomi Islam. Di sinilah sebenarnya ekonomi Islam ditantang untuk bisa menjadi problem solving bagi kebrobokan sistem ekonomi selama ini. Perkembangan institusi keuangan Islam termsuk pasar modal syariah seharusnya menjadi institusi yang mampu mengoreksi kerusakan sistem yang ada. Tidak sebaliknya hanya mengekor pada sistem yang ada, atau bahkan menjadi penguat bagi hegemoni ekonomi ribawi yang selama ini menguasai dunia. Dengan populasi umat Islam terbesar di dunia, Indonesia seharusnya bisa menjadi model bagi bangkitnya ekonomi yang berdasarkan al-qur’an hadits tersebut. Inilah tantangan terbesar bagi para penggiat ekonomi Islam yang ada di Indonesia. Mereka seharusnya tidak bersifat pragmatis, akan tetapi harus berusaha melakukan beberapa terobosan yang dapat memperbaiki sistem ekonomi ribawi yang telah menggurita di Indonesia. Wallahu a’lam bissowab
Konsep Manusia Ekonomi: Perspektiv Konvensional vs Syariah
(Kali ini penulis akan membandingkan sudut pandang psikologis-konsep manusia ekononomi, menurut ekonomi konvensional dengan ekonomi Islami, berdasarkan buku The Future of Economics: An Islamic Perspective oleh Umer Chapra ) . Ketika wahyu dianggap tidak mempunyai pengaruh dalam proses penentuan “benar vs salah”; “disukai vs tak disukai”; “adil vs tidak adil”; maka sebagai konsekuensinya (ekonomi konvensional) keudian HARUS mencari cara-cara lain untuk menentukannya (sebagai alternative-nya). Pendekatan “utilitarianisme hedonis ” adalah salah satu yang dianjurkan sebagai alternative tersebut. Ketika alternative ini dipakai, maka kemudian benar dan salah akan ditentukan atas dasar penghitungan kriteria “kesenangan” (sebagai kebenaran) dan “kesusahan” (sebagai kesalahan). Pendekatan ini akan membuka jalan pada pengenalan filsafat –filsafat, yakni sosial Darwinisme, Materialisme dan Determinisme. Pertanyannya, adakah yang salah dengan hal ini?
Filsafat sosial Darwinisme adalah kepanjangan tangan dari prinsip-prinsip kelangsungan hidup bagi yang lebih baik dan seleksi alam Darwinisme kepada tatanan masyarakat. Penerapan filsafat tersebut “dengan kurang hati-hati” sebenarnya akan membawa kecenderungan pada pen-sah-an konsep “kekuatan adalah kebenaran” secara terselubung dalam tatanan hubungan kemanusiaan. Sehingga hal ini membawa implikasi bahwa kaum miskin dan tertindas adalah pihak yang salah dan patut disalahkan, karena kemiskinan dan kesengsaraan yang menimpa diri mereka sendiri (adalah karena mereka kesalahan sendiri sehingga tidak punya daya saing oleh karenaya patut dengan sendirinya untuk terkalahkan dalam seleksi alam). Lebih jauh lagi, kaum miskin seharusnya tidak dibantu, karena jika dibantu, hal ini adalah tindakan melawan mekanisme seleksi alam Darwinisme itu sendiri dan memperlambat proses evolusi socsal masyarakat. Konsep inilah yang kemudian membuat kaum kaya dan penguasa lebih bisa “menenangkan” suara hati nurani mereka dan merasa “tidak bersalah” dari tanggung jawab sosial dan moral untuk menghilangkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam sistem yang ada. Singkatnya, biarkan saja kaum miskin tambah miskin dan makin tertinggal, atau bahkan mati sekalipun; dan sama sekali jangan dibantu; karena seperti inilah alam ini bekerja, yakni mempertahanan hidup bagi mereka yang lebih kuat atau terkuat saja (dalam asumsi Darwinisme mereka). KAPITALISME
Filsafat Materialisme cenderung untuk meningkatkan kekayaan, kesenangan dan semua kenikmatan fisik (lahiriah) sebagai tujuan dari usaha manusia. Hal inilah yang menjadi dasar budaya konsumerisme pada zaman ini, yang cenderung selalu meningkatkan cara konsumsi masyarakat dan menggandakan tingkat “kerakusan” masyarakat untuk mengkonsumsi di atas kemampuan sumber daya yang dimiliki. Dengan merujuk kepada etos budaya di atas, proporsi ilmu ekonomi konvensional yang tidak controversial adalah bahwa jumlah besar yang beraneka ragam tentu lebih baik daripada kekurangan, dan hal ini akan meningkatkan produksi, memperbanyak harta kekayaan, dan meningkatkankonsumsi barang-barang kebutuhan pokok. Menjadi sesuatu yang tidak diinginkan bila masyarakat harus mengorbankan tujuan-tujuan materi mereka demi mengurangi biaya-biaya non-ekonomi (seperti kegiatan amal sosial, pelestarian lingkungan, dsb) demi produksi dan konsumsi yang lebih besar dan selanjutnya me-realisasi-kan keadilan dan keharmonisan social dan masyarakat. EKSPLOITASI
Filsafat Determinisme membawa implikasi bahwa manusia memiliki kontrol yang lemah terhadap pola tingkah laku mereka. Malahan, tindakan-tindakan yang dilakukan manusia dianggap sebagai mekanis dan respon atas otomatis terhadap rangsangan eksternal sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan hewan (Watson dan Skinner), mental bawah sadar manusia menunjukkan jauh di atas kontrol individu secara sadar (Freud) atau konflik social ekonomi (Marx). Jadi, filsafat determinisme tidak hanaya meniadakan perbedaan dan keruwetan dalam diri manusia saja, tetapi sedikit membawa kepada filsafat social Darwinisme guna “menolak” tanggung jawab moral dalam tingkah laku manusia. Saat mana suasana yang dikontrol oleh kebiasaan-kebiasaan setiap setiap individu jauh di atas kemampuan kontrol mereka, maka orang-orang kaya dan penguasa tak dapat dipersalahkan atas “hal-hal” yang menimpa kaum miskin dan orang-orang yang tertindas. INDIVIDUALIS
Terlihat bahwa semua pendekatan “yang dianggap (oleh pendukungnya sebagai) ilmiah dan rasional” di atas sama sekali menurunkan moral dan tidak sesuai dengan tujuan-tujuan kemanusiaan. Hal ini tentu berbeda dengan sangat kontras dengan pandangan hidup yang religious, yang menganggap bahwa manusia bertanggungjawab pada setiap tindakan mereka dan selanjutnya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan. Dan, sifat dari ekonomi Islami itu sendiri yang bertujuan pada perlindungan pada al maqasidus syariah. Dalam bahasa penulis sendiri, maka Ekonomi konvensional secara dasar filsafatnya, tampak sekali begitu mengutamakan kehidupan yang sangat “individualis”. Pengorbanan kepentingan pribadi demi kepentigan masyarakat yang lebih besar adalah sebuah kesalahan mutlak, karena bertentangan dengan seleksi alam Darwinisme maupun dua filsafat yang berikutnya di atas. Sebaliknya, ekonomi Islami, dibentuk atas dasar wahyu dan religious. Manusia dengan pemahaman ekonomi Islami akan seimbang dalam memenuhi kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Dalam ekonomi Islami, persaingan dalam kebaikan begitu didukung, karena dengan demikian akan terjadi perbaikan yang berkesinambungan dalam masyarakat. Namun demikian, pengorbanan juga bernilai positif, karena dalam setiap harta yang dimiliki ada hak orang lain yang harus ditunaikan. Meskipun persaingan, yang juga diperbolehkan dalam ekonomi Islami, ada di ekonomi konvensional. Namun nilai pengorbanan yang menjadi tujuan kemanusiaan, yang juga ada dan menjadi sebuah nilai kebaikan dalam ekonomi Islami, sama sekali tidak ada bahkan tidak menjadi tujuan bagi ekonomi konvensional. Di sinilah letak kelebihan ekonmi Islami dari sisi keseimbangan antara individu dan sosial.
Pemahaman ini, jika kemudian dilanjutkan pada perbandingan antara ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam, terkait bagaimana pandangan keduanya terhadap konsep manusia ekonomi: rational-according to conventional economics vs Islamic rational, dengan mengutip penjelasan dari ibu Sri Mulyani pada Diskusi Buku the Future of Economics: An Islamic Perspective – Mencari Landscape Baru Perekonomian Indonesia masa Depan oleh KEI FSI, SM FEUI dan senat Mahasiswa SEBI, di Auditorium FEUI Depok, 16 Juni 2001, adalah sbb: “Di situ disebutkan kegagalan pasar disebakan asimetric information yang disebabkan moral Hazard. Sebenarnya, bila orang Islam menjalankan Islam dengan sesungguhnya pasti tidak akan terjadi asimetric information dan moral hazard karena orang Islam selalu mengatakan ;’walaupun kamu ada di kutub dunia atau di dalam kamar sendiri, kamu tidak bisa melakukan moral hazard karena ada yang mengawasi. Karena ada informasi yang lengkap , info lengkap itu dari Tuhan. Jadi ada self built in mechanism di dalam mental yang menyatakan: saya sebetulnya bisa menipu tapi saya tidak akan menipu. Padahal kalau di dalam ilmu ekonomi konvensional seseorang kalau diberi opportunity untuk menipu, di “pasti” menipu. Itu yang disebut rational behavior according to conventional economics, ini telah jelas.”
Kesimpulan dari penulis atas tulisan di atas adalah sebagai berikut:
1. Konsep “benar dan salah” dalam peniliaian manusia-ekonomi pada manusia ekonomi Islami adalah didasarkan pada wahyu (Qur’an dan hadist; yang mana berorientasi pada perlindungan maqqasidus as syriah yang menyeimbangkan antara pemenuhan kepentingan probadi dengan kepentingan masyarakat). Sebaliknya, konsep benar dan salah pada manusia-ekonomi konvensional adalah filsafat hedonism, di mana benar dan salah direduksi pada penilaian menurut Darwinisme social (kebenaran=kekuatan, kekayaan, kekuasaan; dan kesalahan=kemiskinan, ketertindasan; di mana menurut filsafat ini “tidak boleh” bagi yang kaya untuk membantu yang miskin karena itu bertentangan dengan seleksi alam dan evolusi masyarakat); menurut Materialisme (kebenaran=ekspoitasi sumber daya alam guna mencapai kenikmatan fisik yang maksimal; kesalahan=aktivitas social non ekonomi, dan aktivitas yang tidak berdampak langsung pada “keuntungan mterial’ mislakan pelestarian lingkungan; yang mana ini kemudian membawa pada eksploitasi alam) serta Determinisme (mirip social Darwinisme yang menolak tanggung jawab moral dan tingkah laku manusia).

2. Ekonomi konvesional, melalui doktrin, manusia rational-nya menafikkan nilai moral dan kebaikan dalam diri manusia. Dalam pandangannya, manusia adalah pribadi yang individualis dan begitu mengutamakan self interest. Malakukan segala macam cara, walau harus menipu sekalipun, guna mencapai tujuannya. Sehingga bangunan Corporate Governance yang ada dalam sistem ini dibangun dengan penilaian awal bahwa sistem tatakelola yang dibangun harus bisa “menutup” segala akses agar manusia yang menurut mereka semuanya penuh nafsu dan rasional ini kemudian bisa “dikendalikan” dalam sebuah sistem. Mereka tidak mengenal istilah pendekatan moral untuk mengatur behavior manusia. Sebaliknya, dalam ekonomi Islami, sistem ini memandang bahwa manusia , selain meiliki potensi kejelekan, juga memiliki potensi kebaikan,. Sehingga tatakelola yag dibangun dengan dasar ini kemudian akan membuat sebuah sistem yang juga “menutup” akses bagi potensi jahat untuk bisa keluar. Namun, di sisi lain, ekonomi islami yang relijius ini tidak menafikkan untuk melakukan pendekatan moral untuk mengatur perilaku manusia karena pada dasarnya mereka juga memiliki potensi positif. (Dan menurut penulis, inilah yang lebih ideal, sebab jika menutup mata pada pendekatan moral, bahkan dalam ekonomi yang dibangun atas dasar konvesional pun, para ekonom konvensional kemudian menghadapi sebuah masalah, sebagai contoh adalah apa yang tertulis dalam buku Kieso: Intermediate Accounting; sesorang (akuntan) bahkan, bisa melakukan untuk kegiatan yang “melanggar hukum (misalkan korupsi atau pencucian uang)” namun laporan keuangan yang dibuat masih “memenuhi” aturan standard akuntansi.)

No comments:

Post a Comment

OJK Keluarkan Izin Sepuluh Lembaga Keuangan Mikro Syariah REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan izin oper...