Dari Abu Sa’id
Al-Khudri z, bahwa Rasulullah n bersabda: “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan
sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya),
serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa menambah atau minta
tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang meng-ambil dan yang memberi dalam hal
ini adalah sama.” (HR. Muslim).
Demikian pula hadits ‘Umar z yang
muttafaq ‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dalam riwayat Muslim hanya
menyebutkan 6 jenis barang yang terkena hukum riba, yaitu:
1. Emas
2. Perak
3. Burr (suatu jenis gandum)
4. Sya’ir (suatu jenis gandum)
5. Kurma
6. Garam
Para
ulama berbeda pendapat, apakah barang yang terkena riba hanya terbatas pada
enam jenis di atas, ataukah barang-barang lain bisa diqiyaskan dengannya?
Untuk mengetahui lebih detail
masalah ini, perlu diklasifikasikan pemba-hasan para ulama menjadi dua bagian:
Pertama: kurma, garam, burr, dan
sya’ir.
Para ulama berbeda pendapat
sebagai berikut:
1. Pendapat
Zhahiriyyah, Qatadah, Thawus, ‘Utsman Al-Buthi, dan dihikayat-kan dari Masruq
dan Asy-Syafi’i, juga dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani.
Ini adalah pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali, dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan
beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti. Dan ini adalah dzahir
pembahasan Asy-Syaukani dalam Wablul Ghamam dan As-Sail, serta pendapat ini
yang dipilih oleh Asy-Syaikh Muqbil t, Syaikhuna Yahya Al-Hajuri, Syaikhuna
Abdurrahman Al-’Adani, dan para masyayikh Yaman lainnya; bahwa riba hanya
terjadi pada enam jenis barang ini dan tidak dapat diqiyaskan dengan yang
lainnya.
2. Pendapat
jumhur ulama, bahwa barang-barang lain dapat diqiyaskan dengan enam barang di
atas, bila ‘illat (sebab hukumnya) sama.
Kemudian mereka berbeda pendapat
mengenai batasan ‘illat-nya sebagai berikut:
a. An-Nakha’i,
Az-Zuhri, Ats-Tsauri, Ishaq bin Rahawaih, Al-Hanafiyyah dan pendapat yang
masyhur di madzhab Hanabilah bahwa riba itu berlaku pada barang yang ditakar
dan atau ditimbang, baik itu sesuatu yang dimakan seperti biji-bijian, gula,
lemak, ataupun tidak dimakan seperti besi, kuningan, tembaga, platina, dsb.
Adapun segala sesuatu yang tidak ditimbang atau ditakar maka tidak berlaku
hukum riba padanya, seperti buah-buahan karena ia diperjualbelikan dengan
sistem bijian.
Sehingga menurut mereka, tidak
boleh jual beli besi dengan besi secara tafadhul (beda timbangan), sebab besi
termasuk barang yang ditimbang. Menurut mereka, boleh jual beli 1 pena dengan 2
pena, sebab pena tidak termasuk barang yang ditimbang atau ditakar. Mereka
berdalil dengan lafadz yang tersebut dalam sebagian riwayat:
“Kecuali timbangan dengan
tim-bangan… kecuali takaran dengan takaran.”
b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i,
juga disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal, Ibnul Mundzir, dan
yang lainnya, bahwa riba itu berlaku pada semua yang dimakan dan yang diminum,
baik itu yang ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka, tidak boleh
menjual 1 jeruk dengan 2 jeruk, 1 kg daging dengan 1,5 kg daging. Semua itu
termasuk barang yang dimakan. Juga tidak boleh menjual satu gelas jus jeruk
dengan dua gelas jus jeruk, sebab itu termasuk barang yang diminum.
c. Pendapat Malik bin Anas t dan
dirajihkan oleh Ibnul Qayyim t, bahwa riba berlaku pada makanan pokok yang
dapat disimpan.
d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah
ulama, bahwa riba berlaku pada barang-barang yang warna dan rasanya sama dengan
kurma, garam, burr, dan sya’ir.
e. Pendapat Rabi’ah, bahwa riba
berlaku pada barang-barang yang dizakati.
f. Pendapat Sa’id bin
Al-Musayyib, Asy-Syafi’i dalam pendapat lamanya, satu riwayat dari Ahmad, dan
yang dipilih oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin, Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin
Abdullah bin Baz, wakilnya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, anggota:
Asy-Syaikh Shalih Fauzan, Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, mereka berpendapat bahwa
riba berlaku pada setiap barang yang dimakan dan diminum yang ditakar atau
ditimbang.
Sehingga segala sesuatu yang
tidak ditakar atau ditimbang, tidak berlaku hukum riba padanya. Begitu pula
segala sesuatu yang dimakan dan diminum namun tidak ditimbang atau ditakar,
maka tidak berlaku hukum riba padanya.
Yang rajih –wallahu a’lam– adalah
pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka yaitu bahwa tidak ada
qiyas dalam hal ini, dengan argu-mentasi sebagai berikut:
1. Hadits-hadits yang tersebut dalam masalah ini, yang menyebutkan hanya enam
jenis barang saja.
2. Kembali
kepada hukum asal. Hukum asal jual beli adalah halal kecuali ada dalil yang
mengharamkannya. Allah I berfirman:
“Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Sementara yang dikecualikan dalam
hadits hanya enam barang saja.
3. ‘Illat yang
disebutkan oleh jumhur tidak disebutkan secara nash dalam sebuah dalil.
‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh
sebab itulah, mereka sendiri berbeda pendapat dalam menentukan
batasan-batasannya.
“Kalau kiranya bukan dari sisi
Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.”
(An-Nisa`: 82)
Untuk itulah kita tetap berpegang
dan merujuk kepada dzahir hadits. Wallahul muwaffiq.
Adapun mereka yang beralasan
dengan lafadz (takaran dengan takaran) dan (timbangan dengan timbangan)
yang tersebut dalam sebagian riwayat, maka jawabannya adalah bahwa hadits tersebut
dibawa pada pengertian yang ditimbang adalah emas dan perak, bukan barang yang
lain, dalam rangka mengompromikan dalil-dalil yang ada.
Atau dengan bahasa lain, yang
dimaksud dengan lafadz-lafadz di atas adalah kesamaan pada sisi timbangan pada
barang-barang yang terkena hukum riba yang tersebut dalam hadits-hadits lain.
Wallahu a’lam.
Adapun pengertian sha’ atau
takaran atau hitungan (bijian) pada sebagian riwayat, maka dijawab oleh
Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani, yang kesimpulannya adalah bahwa penyebutan
hal-hal di atas hanyalah untuk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau
timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yang disebut dalam
hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.
Adapun masalah muzabanah1 yang
dijadikan dalil oleh jumhur, maka jawabannya adalah sebagai berikut:
" Asy-Syaikh
Muqbil t ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab: “Tidak masalah kalau
anggur termasuk barang yang terkena riba.” Jawaban Ibnu Rusyd t: “Muza-banah
masuk dalam bab riba dari satu sisi dan masuk dalam bab gharar dari sisi yang
lain. Pada barang-barang yang terkena riba maka masuk pada bab riba dan gharar
sekaligus. Namun pada barang-barang yang tidak terkena riba maka dia masuk pada
sisi gharar saja. Wallahul musta’an.”
Kedua: Emas dan perak
Para ulama berbeda pendapat
tentang ‘illat (sebab) emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.
1. Pendapat
Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka, berpendapat bahwa perkaranya
adalah ta’abuddi tauqifi, yakni demikianlah yang disebut dalam hadits,
‘illat-nya adalah bahwa dia itu emas dan perak.
Atas dasar ini, maka riba berlaku
pada emas dan perak secara mutlak, baik itu dijadikan sebagai alat bayar
(tsaman) untuk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t dalam sebagian karyanya.
2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yang
masyhur dari madzhab Hanabilah, bahwa ‘illat-nya adalah karena emas dan perak
termasuk barang yang ditimbang. Sehingga setiap barang yang ditimbang seperti
kuningan, platina, dan yang semisalnya termasuk barang yang terkena riba, yaitu
diqiyaskan dengan emas dan perak.
Namun pendapat ini terbantah
dengan kenyataan adanya ijma’ ulama yang membolehkan adanya sistem salam2 pada
barang-barang yang ditimbang. Seandainya setiap barang yang ditimbang terkena
riba, niscaya tidak diperbolehkan sistem salam padanya.
3. Pendapat Malik, Asy-Syafi’i,
dan satu riwayat dari Ahmad, bahwa ‘illat-nya adalah tsamaniyyah (sebagai alat
bayar) untuk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka, ‘illat ini khusus
pada emas dan perak saja, tidak masuk pada barang yang lainnya.
Yang rajih, wallahu a’lam, adalah pendapat pertama
dan tidak bertentangan dengan pendapat ketiga. Sebab, yang ketiga termasuk pada
pendapat pertama, wallahu a’lam. Dalilnya adalah hadits Fudhalah bin Ubaid z
tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment