Secara bahasa, riba berarti bertam-bah, tumbuh, tinggi, dan naik. Adapun
menurut istilah syariat, para fuqaha sangat beragam dalam mendefinisikannya.
Sementara definisi yang tepat haruslah bersifat jami’ mani’ (mengumpulkan dan
mengeluarkan), yaitu mengumpulkan hal-hal yang termasuk di dalamnya dan
mengeluarkan hal-hal yang tidak termasuk darinya.
Definisi paling ringkas dan bagus
adalah yang diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t dalam
Syarah Bulughul Maram, bahwa makna riba adalah: “Penambahan pada dua perkara yang diharamkan dalam syariat adanya tafadhul
(penambahan) antara keduanya dengan ganti (bayaran), dan adanya ta`khir (tempo)
dalam menerima sesuatu yang disyaratkan qabdh (serah terima di tempat)”
(Syarhul Buyu’, hal. 124).Definisi di atas mencakup riba fadhl dan riba nasi`ah.
Faedah penting:
Setiap jual beli yang diharamkan termasuk dalam kategori riba. Dengan cara
seperti ini, dapat diuraikan makna hadits Abdullah bin Mas’ud z:
“Riba
itu ada 73 pintu.” (HR. Ibnu
Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi dalam Shahihul Musnad, 2/42).
Madzhab ini
dihikayatkan dari sekelompok ulama oleh Al-Imam Muham-mad bin Nashr Al-Marwazi
t dalam kitab As-Sunnah (hal. 164). Lalu beliau berkata (hal. 173): “Menurut
madzhab ini, firman Allah I:
“Dan Allah menghalalkan jual
beli.” (Al-Baqarah: 275)
memiliki makna umum yang mencakup
semua sistem jual beli yang tidak disebut riba. Dan setiap sistem jual beli
yang diharamkan Nabi n masuk dalam firman Allah I:
“Dan Allah mengharamkan riba.”
(Al-Baqarah: 275)
Juga dihikayatkan oleh As-Subuki
dalam Takmilah Al-Majmu’, bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah x dan
‘Umar bin Al-Khaththab z.
Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu
Hajar, Al-Imam Ash-Shan’ani, Al-Imam Asy-Syaukani, dan sejumlah ulama lainnya.
Madzhab ini shahih dengan dalil-dalil
sebagai berikut:
1. Atsar Ibnu
Mas’ud z. Beliau berkata:
“Tidak
boleh ada dua akad dalam satu akad jual beli. Sesungguhnya Rasulullah n
melaknat pemakan riba, yang memberi makan orang lain dengan riba, dua saksinya,
dan pencatatnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 1053,
Al-Bazzar dalam Musnad-nya no. 2016 dan Al-Marwazi dalam As-Sunnah (159-161)
dengan sanad hasan)
Al-Marwazi dalam Sunnah-nya (hal.
166) menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud z ini ada dalil yang
menunjukkan bahwa setiap jual beli yang dilarang adalah riba.”
2. Hadits Ibnu
Abbas z, bahwa Rasulullah n bersabda:
“Salaf
(sistem salam) pada hablul habalah adalah riba.” (HR. An-Nasa`i dengan sanad shahih, semua perawinya tsiqah (terpercaya)). Al-Imam As-Sindi dalam Hasyiyatun Nasa‘i (7/313, cetakan Darul Fikr)
menjelaskan: “Sistem salaf (salam) dalam hablul habalah adalah sang pembeli
menyerahkan uang (harga barang) kepada seseorang yang mempunyai unta bunting.
Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan kemudian yang ada di dalam
perutnya (janin) telah melahirkan (pula), maka aku beli anaknya darimu dengan
harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dengan riba sebab hukumnya haram
seperti riba, dipandang dari sisi bahwa ini adalah menjual sesuatu yang tidak
dimiliki oleh si penjual dan dia tidak mampu untuk menyerahkan barang tersebut.
Sehingga ada unsur gharar (penipuan) padanya.”
No comments:
Post a Comment