Prinsip bagi hasil secara umum dalam perbankan syariah dapat dilakukan
dalam empat akad utama. Yakni musyarakah, mudharabah, muzara’ah,
dan musaqah. Dari empat akad tersebut hanya dua yang banyak
dipakai, yakni musyarakah dan mudharabah. Muzara’ah dan musaqah digunakan
khusus untuk pembiayaan dalam pertanian.
Musyarakah (مشاركة) atau Partnership
Musyarakah atau Project
Financing Partipation adalah akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih dalam sebuah usaha di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi
modal (dana) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko yang akan diperoleh
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Landasan syariah
berdasar Al-Quran surat Shaad [38] ayat 24:
Daud berkata:
“Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu
untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian
yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh;
dan Amat sedikitlah mereka ini”. Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya;
Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.
Hal ini diperkuat
oleh hadits Qudsi:
Dari Abu Hurairah,
Rasulullah SAW bersabda:
”Sesungguhnya Allah
Azza wa jalla berfirman, Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama
salah satunya tidak menghianati yang lainnya”. (H.R. Abu Daud dan Hakim).
Para Ulama ber-ijma’1 mengenai bolehnya syirkah,
sebagaimana telah dikemukakan oleh Ibnu Al-Mundzir. Hasil ijma’
mengatakan, muslim telah berkonsensus akan legitimasisyirkah secara
global, walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa hal.
Jenis-jenis Musyarakah
1. Syirkah ’Uqud
(شركة عقود)
Syirkah ’uqud berarti persekutuan dagang yang
terbentuk karena suatu kontrak. Jenis syirkah ini terbagai dalam
tujuh bagian:
a. Syirkah
Al-‘Inan
Kontrak kerjasama
antara dua orang atau lebih, di mana setiap pihak memberikan porsi dari
keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Rukun dari serikat ini ada
tiga macam: objek modal, pembagian keuntungan, dan kadar pekerjaan.
b. Syirkah
Mufawadhah (شركة موافضة)
Kontrak kerjasama
antara dua orang atau lebih, di mana setiap pihak membagi keuntungan dan
kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenismusyarakah ini
adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban hutang
yang dibagi kepada masing-masing pihak.
c. Syirkah A’mal
(شركة أعمال)
Kontrak kerjasama
dua orang atau lebih yang seprofesi untuk menerima atau melakukan pekerjaan
secara bersama, dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerjasama
dua orang arsitek untuk mengerjakan sebuah jalan, atau kerja sama dua orang
pengacara untuk menerima order membela klien. Musyarakah jenis
ini ada juga yang menyebutnya musyarakah abdan atau sanaa’i.
d. Syirkah Wujuh
(شركة وجوه)
Kontrak antara dua
orang atau lebih, mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan
menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi kerugian dan keuntungan
berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra kerja.
Jenis musyarakah ini menurut Imam Malik dan Syafi’i tidak sah,
namun Imam Abu Hanifah membolehkannya.
e. Syikah
Al-Mudharabah(شركة المضاربة)
Suatu akad yang
memuat penyerahan modal kepada orang lain untuk mengusahakannya dan
keuntungannya dibagi di antara mereka secara berbeda.
f. Syirkah
Al-Muzara’ah(شركة المزارعة)
Menggarap tanah
dengan imbalan sebagian dari hasil tanaman dan benih dari pihak pemilik tanah.
g. Syirkah
Al-Musaqah(شركة المساقة)
Mempekerjakan orang
lain pada pohon kurma atau pohon anggur saja. Dengan tujuan ia menjaganya
dengan menyiram dan merawat, dan disertai kesepakatan bahwa hasil buahnya
dibagi antara mereka berdua.
2. Syirkah Amlak(شركة أملاك )
Syirkah amlak merupakan kepemilikan lebih dari satu
orang terhadap suatu barang, tanpa diperoleh melalui akad. Dalam pengertian
lain berarti suatu persekutuan dagang tidak perlu suatu kontrak dalam
pembentukannya, tetapi terjadi dengan sendirinya. Bentuk dari syirkah
amlak terbagi menjadi dua bagian:
a. Amlak Jabr (أملاك جبر)
Terjadinya
persekutuan dagang secara otomatis dan paksa. Otomatis berarti tidak memerlukan
kontrak untuk membentuknya. Paksa berarti tidak ada alternatif lain untuk
menolaknya. Hal ini terjadi dalam proses waris-mewarisi, manakala ada dua
saudara atau lebih menerima warisan dari orang tua mereka.
b. Amlak Ikhtiar
(أملاك إختيار)
Terjadinya suatu
persekutuan dagang secara otomatis tetapi bebas. Otomatis berarti tidak
memerlukan kontrak untuk membentuknya. Bebas berarti tidak ada pilihan untuk
menolaknya. Misalnya, ada dua orang atau lebih yang mendapatkan hadiah atau
wasiat bersama dari pihak ketiga. Kedua bentuk syirkah amlak (milik)
di atas mempunyai karakter yang agak berbeda daripada syirkah lainnya.
Pada kedua syirkah ini masing-masing anggota tidak mempunyai
hak untuk mewakilkan dan mewakili atas mitra kerjanya.
2. Mudharabah (مضاربة) atau Qiradh (قراض) atau Trust Financing, Trust Investment
Secara etimologis, kata ‘mudharabah’ ( مُضَارَبَةٌ ) adalah إسم (kata benda) yang setara dengan wazan ُمفَاعَلَة dan berasal dari akar kata ضرب-يضرب-
ضربا yang bermakna memukul. Secara etimologis,
kata mudharabah memiliki banyak pengertian, di antaranya:
Bersafar atau berjalan dalam jarak yang jauh.
Berjalan di muka bumi dengan tujuan berdagang dan mencari rezeki seperti
pada ayat dalam surat Al-Muzammil [73] ayat 20: “Dan orang-orang yang
berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.”
Menyifati sesuatu atau menjelaskan.
Meminta dan mendapatkan.
Saling menanam saham.
Dengan penambahan
pada ض menjadi مُضَارَبَة ٌ,
maka kata ini memiliki konotasi “saling memukul” yang berarti mengandung subjek
lebih dari satu orang.
Mudharabah merupakan
bahasa yang biasa dipakai oleh penduduk Irak. Sedangkan penduduk Hijaz lebih
suka menggunakan kata “Qiradh” [قراض]
untuk merujuk pada pola perniagaan yang sama. Mereka menamakan qiradh yang
berarti memotong, karena si pemilik modal memotong dari sebagian hartanya untuk
diniagakan dan memberikan sebagian dari labanya. Kadang dinamakan juga “muqharabah”
yang berarti sama-sama memilki hak utuk mendapatkan laba. Hal ini dikarenakan
si pemilik modal memberikan modalnya, sementara pengusaha meniagakannya dan
keduanya sama-sama berbagi untung.
Secara terminologis, dalam istilah fiqih muamalah, mudharabah adalah
suatu bentuk perniagaan di mana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada
pengusaha, yang selanjutnya disebut mudharib, untuk diniagakan dengan
keuntungan yang dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah
pihak. Sedangkan kerugian jika ada, akan ditanggung oleh si pemilik modal.
Mudharabah merupakan
jenis akad tidak lazim di mana salah satu pihak yang melaksanakan kontrak ini
dapat membatalkan kontraknya tanpa harus menunggu persetujuan dari pihak lain. Mudharabah dalam
hal ini mirip wadiah.
Landasan Syariah
Mudharabah merupakan
salah satu tradisi ekonomi yang sudah ada sejak masa jahiliyah, dan masih
diberlakukan dalam Islam. Tidak ada perbedaan di antara ahli fiqih dan
kaum muslimin tentang diperbolehkannya mudharabah. Beberapa alasan syariahnya antara
lain:
1. Al-Quran
Beberapa ayat yang
menjadi landasan mudharabah pada umumnya bersifat global, dan
tidak menunjuk pada mudharabah secara khusus.
[sociallocker]
QS. Al-Muzammil
[73] ayat 20:
“…dan orang-orang
yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang
lain lagi berperang di jalan Allah….”
Ayat di atas
merujuk pada usaha perniagaan di zaman dahulu yang dilakukan dengan cara
berjalan ke tempat-tempat yang jauh. Misalnya, dari Mekah ke Syam dan ke Yaman.
2. As-Sunnah
a. Nabi
Muhammad SAW mengisahkan tentang perjalanannya ke negeri Syam. Perjalanan
tersebut dalam rangka mengelola harta yang dipercayakan Khadijah kepadanya
sebelum masa kenabian. Pengisahan kembali oleh Nabi SAW pasca kenabian
menunjukan bahwa beliau tidak memungkiri mudharabah.
b. Diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas ra., bahwa Al-Abbas ketika hendak membayar sebuah harta secara mudharabah,
dia akan memberi syarat kepada rekannya agar tidak menyeberang laut, tidak
melewati lembah, dan tidak dibelikan binatang yang berparu-paru basah. Jika
syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka itu adalah jaminan. Hal itu kemudian
diangkat kepada Rasulllah SAW, dan beliau memerbolehkannya.
Hadits ini oleh
para ahli fiqih dijadikan landasan syara’ mudharabah mayoritasnya
adalahtaqriri.
3. Ijma’
Sejak zaman
Nabi—pada tiap masa dan tempat—instrumen mudharabah menjadi
ketetapan yang sudah berlaku secara konvensional dan tradisional. Hal ini dapat
dikategorikan ke dalam ijma’. Diriwayatkan dari sejumlah sahabat
bahwa mereka membayarkan harta anak yatim secara mudharabah dan
tak seorang pun ada yang menyangkal hak itu. Hal ini jelas merupakan bentuk ijma’ di
kalangan para sahabat.
Dalam hal ijma’ Al-Kasani
mengatakan: “…dan dengan ini (mudharabah) orang-orang telah menjalankan
perniagaan sejak zaman Rasullullah SAW sampai hari ini di seluruh negeri tanpa
ada satu pun yang mengingkarinya. Dan ijma’ yang ada pada
setiap masa ini sudah cukup untuk bisa dijadikan hujjah (argumentasi
yang kuat).
Jenis-jenis Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi
dalam dua jenis, yakni mudharabah mutlaqah danmudharabah
muqayyadah.
a. Mudharabah
Muthlaqah (مضاربة مطلقة)
Merupakan bentuk kerjasama
antara shahibul maal dan mudharib yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu,
dan daerah bisnis. Dalam bahasa fiqih, seringkali dicontohkan
dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukan sesukamu) dari shahibul
maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
b. Mudharabah Muqayyadah(مضاربة مقيدة)
Juga disebut mudharabah terbatas
atau spesifik adalah kebalikan dari mudharabah mutlaqah. Mudharib dibatasi
dengan batasan jenis usaha, waktu, dan tempat usaha. Adanya pembatasan ini
seringkali mencerminkan kecenderungan umum shahibul maaldalam
memasuki jenis usaha. Dalam terminologi perbankan syariah lazim disebut special
investment.
3. Al-Muzara’ah (المزارعة)/Harvest-Yield Profit Sharing
Al-muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian
antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan
pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan
bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Al-Muzaraah seringkali diidentikkan dengan
mukhabarah. Di antara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut:
Muzara’ah: benih dari pemilik lahan.
Mukhabarah: benih dari penggarap.
Landasan Syariah
1. Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah
Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan
imbalan pembagian buah-buahan dan tanaman.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir yang menyatakan bahwa bangsa arab
senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio
bagi hasil 1/3: 2/3, ¼: ¾, dan ½ :1/2, maka Rasulullah pun bersabda: “Hendaklah
menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa tidak melakukan salah
satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.”
2. Ijma’:
Bukhari mengatakan
bahwa telah berkata Abu Ja’far: “Tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali
penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian
hasil 1/3 dan ¼. Hal ini telah dilakukan oleh Ali, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu
Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dan keluarga
Ali.
Karenanya dalam
konteks ini, lembaga keuangan Islam dapat memberikan pembiayaan bagi nasabah
yang bergerak dalam bidang pertanian atas dasar bagi hasil dari hasil panen.
4. Al-Musaqah (المساقة) atau Plantation Management FeeBased on Certain Portion of Yield
Al-musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana
dari muzara’ah yakni si penggarap hanya bertanggungjawab atas
penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu
dari hasil panen.
Landasan Syariah
a. Al-Hadits
Ibnu Umar berkata
bahwa Rasulullah saw pernah memberikan tanah dan tanaman kurma di Khaibar
kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan menggunakan peralatan dan dana
mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil
panen.
b. Ijma
Telah berkata Abu
Ja’far Muhammad bin Ali bin Hssain bin Ali bin Abu Thalib ra. bahwa Rasululah
SAW telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai pengarap dan pemelihara atas
dasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, dan
keluarga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan ¼. Semua telah
dilakukan oleh Khulaafa ar-rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak
telah mengetahuinya, tetapi tak ada seorang pun yang menyanggahnya. Berarti ini
adalah ijma sukuti (konsensus) dari umat.
No comments:
Post a Comment